Rabu, 07 Mei 2014

Biografi KH. Bisri Mustafa



KH. Bisri Musthofa merupakan satu di antara sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz. Kitab tafsir ini selesai beliau tulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar. Masih banyak karya-karya lain yang dihasilkan KH. Bisri Musthofa, dan tidak hanya mencakup bidang tafsir saja tetapi juga bidang-bidang yang lain seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab, dan lain-lain.
Selain itu, KH. Bisri Musthofa juga dikenal sebagai seorang orator atau ahli pidato. Beliau, menurut KH. Saifuddin Zuhri, mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit sehingga menjadi begitu gamblang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan (KH. Saifuddin Zuhri : 1983, 27).
KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri sepulang dari menunaikan ibadha haji di kota suci Mekah. Beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua KH. Bisri Musthofa ini, kecuali catatan KH. Bisri Musthofa yang menyatakan bahwa kedua orangtuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai Mbah Syuro ini pun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya (KH. Bisri Musthofa: 1977, 1).
Di usianya yang keduapuluh, KH. Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya yang bernama Kiai Cholil dari Kasingan (tetangga desa Pesawahan) dengan seorang gadis bernama Ma’rufah (saat itu usianya 10 tahun), yang tidak lain adalah puteri Kiai Cholil sendiri. Belakangan diketahui, inilah alasan Kiai Cholil tidak memberikan izin kepada KH. Bisri Musthofa untuk melanjutkan studi ke pesantren Termas yang waktu itu diasuh oleh K. Dimyati. Dari perkawinannya inilah, KH. Bisri Musthofa dianugerahi delapan anak, yaitu Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Cholil (KH. Cholil Bisri) dan Musthofa (KH. Musthofa Bisri) merupakan dua putera KH. Bisri Musthofa yang saat ini paling dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan pesantren yang dimilikinya. KH. Bisri Musthofa wafat pada tanggal 16 Februari 1977 (KH. Bisri Musthofa: 1977, 15).

PENDIDIKAN

KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, beliau belajar di sekolah Jawa “Angka Loro” di Rembang. Di sekolah ini, KH. Bisri Musthofa tidak sampai selesai karena ketika hampir naik kelas dua beliau terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji (KH. Saifuddin Zuhri : 1983, 24).
Sepulang dari tanah suci, KH. Bisri Musthofa sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil (guru di pondok dan belakangan jadi mertua) dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda dan kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” sampai mendapatkan serifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), KH. Bisri Musthofa melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, KH. Bisri Musthofa belajar di pesantren Kasingan pimpinan Kiai Cholil (KH. Bisri Musthofa: 1977, 8-9).
Setahun setelah dinikahkan oleh Kiai Cholil dengan putrinya yang bernama Marfu’ah itu, KH. Bisri Musthofa berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, KH. Bisri Musthofa tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
Di Mekah, pendidikan yang dijalani KH. Bisri Musthofa bersifat non-formal. Beliau belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-guru beliau terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-guru beliau di Mekah adalah: (1) Syeikh Baqir, asal Yogyakarta. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Lubbil Ushul, ‘Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf; (2) Syeikh Umar Hamdan al-Maghriby. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab hadits Shahih Bukhari dan Muslim; (3) Syeikh Ali Maliki. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir dan al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah; (4) Sayid Amin. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Ibnu ‘Aqil; (5) Syeikh Hassan Massath. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Minhaj Dzawin Nadhar; (6) Sayid Alwi. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar tafsir al-Qur’an al-Jalalain; (7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Jam’ul Jawami’ (KH. Bisri Musthofa: 1977, 18).
Dua tahun lebih KH. Bisri Musthofa menuntut ilmu di Mekah. KH. Bisri Musthofa pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya.
Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Kholil) meninggal dunia. Sejak itulah KH. Bisri Mustofa menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.
Dalam mengajar para santrinya, beliau melanjutkan sistem yang dipergunakan kiai-kiai sebelumnya yaitu menggunakan sistem balah (bagian) menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan langsung kepada para santrinya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik, Fath al-Mu’in, Jam’ul Jawami’, Tafsir al-Qur’an, Jurumiyah, Matan ‘Imrithi, Nadham Maqshud, ‘Uqudil Juman, dan lain-lain.
Di samping kegiatan mengajar di pesantren, beliau juga aktif pula mengisi ceramah-ceramah (pengajian) keagamaan. Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya sehingga beliau sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa tengah.
KH. Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah KH. Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah), KH. Muhammad Anshari (Surabaya), KH. Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal), KH. Basrul Khafi, KH. Jauhar, Drs. Umar Faruq SH, Drs. Ali Anwar (Dosen IAIN Jakarta), Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN Medan), H. Rayani (Pengasuh Pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.

KARYA-KARYA

Jumlah tulisan-tulisan beliau yang ditinggalkan mencapai lebih kurang 54 buah judul, meliputi: tafsir, hadits, aqidah, fiqh, sejarah nabi, balaghah, nahwu, sharf, kisah-kisah, syi’iran, do’a, tuntunan modin, naskah sandiwara, khutbah-khutbah, dan lain-lain. Karya-karya tersebut dicetak oleh beberapa perusahaan percetakan yang biasa mencetak buku-buku pelajaran santri atau kitab kuning, di antaranya percetakan Salim Nabhan Surabaya, Progressif Surabaya, Toha Putera Semarang, Raja Murah Pekalongan, Al-Ma’arif Bandung dan yang terbanyak dicetak oleh Percetakan Menara Kudus. Karyanya yang paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz (3 jilid), di samping kitab Sulamul Afham (4 jilid).
Karya-karya KH. Bisri Musthofa jika diklasifikasikan berdasarkan bidang keilmuan adalah sebagai berikut:
A. Bidang Tafsir
Selain tafsir al-Ibriz, KH. Bisri Musthofa juga menyusun kitab Tafisr Surat Yasin. Tafsir ini bersifat sangat singkat dapat digunakan para santri serta para da’I di pedasaan. Termasuk karya beliau dalam bidang tafsir ini adalah kitab al-Iksier yang berarti “Pengantar Ilmu Tafsir” ditulis sengaja untuk para santri yang sedang mempelajari ilmu tafsir.
B. Hadits
1. Sulamul Afham, terdiri atas 4 jidil, berupa terjamah dan penjelasan. Di dalamnya memuat hadits-hadits hukum syara’ secara lengkap dengan keterangan yang sederhana.
2. al-Azwad al-Musthofawiyah, berisi tafsiran Hadits Arba’in an-Nawaiy untuk para santri pada tingkatan Tsanawiyah.
3. al-Mandhomatul Baiquny, berisi ilmu Musthalah al-Hadits yang berbentuk nadham yang diberi nama.
C. Aqidah
1. Rawihatul Aqwam
2. Durarul Bayan
Keduanya merupakan karya terjemahan kitab tauhid/aqidah yang dipelajari oleh para santri pada tingkat pemula (dasar) dan berisi aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Karyanya di bidang aqidah ini terutama ditujukan untuk pendidikan tauhid bagi orang yang sedang belajar pad atingkat pemula.
D. Syari’ah
1. Sullamul Afham li Ma’rifati al-Adillatil Ahkam fi Bulughil Maram.
2. Qawa’id Bahiyah, Tuntunan Shalat dan Manasik Haji.
3. Islam dan Shalat.
E. Akhlak/Tasawuf
1. Washaya al-Abaa’ lil Abna
2. Syi’ir Ngudi Susilo
3. Mitra Sejati
4. Qashidah al-Ta’liqatul Mufidah (syarah dari Qashidah al-Munfarijah karya Syeikh Yusuf al-Tauziri dari Tunisia)
F. Ilmu Bahasa Arab
1. Jurumiyah
2. Nadham ‘Imrithi
3. Alfiyah ibn Malik
4. Nadham al-Maqshud.
5. Syarah Jauhar Maknun
G. Ilmu Mantiq/Logika
Tarjamah Sullamul Munawwaraq, memuat dasar-dasar berpikir yang sekarang lebih dikenal dengan ilmu Mantiq atau logika. Isinya sangat sederhana tetapi sangat jelas dan praktis. Mudah dipahami, banyak contoh-contoh yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
H. Sejarah
1. An-Nibrasy
2. Tarikhul Anbiya
3. Tarikhul Awliya.
I. Bidang-bidang Lain
Buku tuntunan bagi para modin berjudul Imamuddien, bukunya Tiryaqul Aghyar merupakan terjemahan dari Qashidah Burdatul Mukhtar. Kitab kumpulan do’a yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari berjudul al-Haqibah (dua jilid). Buku kumpulan khutbah al-Idhamatul Jumu’iyyah (enam jilid), Islam dan Keluarga Berencana, buku cerita humor Kasykul (tiga jilid), Syi’ir-syi’ir, Naskah Sandiwara, Metode Berpidato, dan lain-lain.

PEMIKIRAN

Tidak dapat dipungkiri, di dalam lingkungan kaum muslimin ada dua kecenderungan, yaitu kelompok tekstual-skripturalistik dan kelompok rasional. Kelompok tekstualis selalu menjadikan ayat al-Qur’an dan Hadits apa adanya sebagai dasar argumen, berpikir, dan bersikap. Sementara kelompok rasionalis selalu memberikan interpretasi rasional terhadap teks-teks keagamaan berdasarkan kemampuan akalnya.
KH. Bisri Musthofa tidak termasuk di antara kedua kelompok di atas. KH. Bisri Musthofa lebih cenderung berada di tengah-tengah antara tekstual-skripturalis dan rasionalis. Sebagaimana terlihat jelas dalam kitab tafsirnya, al-Ibruz, KH. Bisri Musthofa selalu memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.
Di bidang akhlak, KH. Bisri Musthofa termasuk orang yang sangat memprihatinkan kondisi kemorosotan moral generasi muda. Lewat karya-karyanya di bidang akhlak itulah KH. Bisri Musthofa menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada generasi muda. Dalam kitab berbahasa Jawa Washoya Abaa li al-Abna, misalnya, beliau memberikan tuntunan-tuntunan seperti sikap taat dan patuh kepada orangtua, kerapihan, kebersihan, kesehatan, hidup hemat, larangan menyiksa binatang, bercita-cita luhur dan nasihat-nasihat baik lainnya. Sementara dalam karya yang berbentuk syair Jawa, yaitu kitab Ngudi Susila dan Mitra Sejati, KH. Bisri Musthofa menekankan sikap humanisme, kemandirian, rajin menuntut ilmu dan lain-lain.
Sedangkan pemikiran KH. Bisri Musthofa dalam bidang fiqh terlihat dalam pemikirannya mengenai Keluarga Berencana (KB). Menurutnya, manusia dalam berkeluarga diperbolehkan berikhtiar merencanakan masa depan keluarganya sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Dalam pandangan KH. Bisri Musthofa, Keluarga Berencana diperbolehkan bila disertai dengan alasan yang pokok, yaitu untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, dan meningkatkan pendidikan sang anak.

KARIR POLITIK DAN PERJUANGAN

KH. Bisri Musthofa hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno, dan masa Orde Baru. Pada zaman penjajahan, ia duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan ketua Hizbullah Cabang Rembang. Kemudian, setelah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, ia diangkat menjadi ketua Masyumi Cabang Rembang –ketua Masyumi pusat waktu itu adalah KH. Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo (Saifullah Ma’shum : 1994, 332). Masa-masa menjelang kemerdekaan, KH. Bisri Musthofa mendapat tugas dari PETA (Pembela Tanah Air). Beliau juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, jabatan tersebut ditinggalkan, dan mulai aktif di partai NU. Dalam hal ini beliau menyatakan : “tenaga saya hanya untuk partai NU… dan di samping itu menulis buku”.
Pada zaman pemerintahan Soekarno, KH. Bisri Musthofa duduk sebagai anggota konstituane, anggota MPRS dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do’a waktu pelantikan (Saifullah Ma’shum : 1994, 332).
Pada masa Orde Baru, KH. Bisri Musthofa pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada tahun 1977, ketika partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau menjadi anggota Majelis Syura PPP Pusat. Secara bersamaan, beliau juga duduk sebagai Syuriyah NU wilayah Jawa Tengah (Saifullah Ma’shum : 1994, 333).
Menjelang Pemilu 1977, KH. Bisri Musthofa terdaftar sebagai calon nomor satu anggota DPR Pusat dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun sayang sekali, Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran KH. Bisri Musthofa. Beliau meninggal dunia seminggu sebelum masa kampanye 24 Februari 1977. Duduknya KH. Bisri Musthofa sebagai calon utama anggota DPR tersebut memang memberikan bobot tersendiri bagi perolehan suara PPP. Itulah sebabnya, wafatnya beliau dirasakan sebagai suatu musibah yang berat bagi warga PPP.
sumber:
Putra Beliau yang terkenal

                                                         KH. A. Mustafa Bisri (Gus Mus)
Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang.  Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma’shum dan KH Abdul Qadir; dan Universitas Al Azhar Cairo di samping di pesantren milik ayahnya sendiri, KH Bisri Mustofa, Raudlatuth Thalibin Rembang.
Menikah dengan St. Fatma, dikaruniai 6 (enam) orang anak perempuan : Ienas Tsuroiya, Kutsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyah, Nada dan Almas serta seorang anak laki-laki: Muhammad Bisri Mustofa.  Kini beliau telah memiliki 5 (lima) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi,  Ahmad Sampton, Wahyu Salvana, dan Fadel Irawan serta 7 (tujuh) orang cucu: Ektada Bennabi Muhammad; Ektada Bilhadi Muhammad; Muhammad Ravi Hamadah, Muhammad Raqie Haidarah Habibi; Muhammad Najie Ukasyah, Ahmad Naqie Usamah; dan Samih Wahyu Maulana.
Selain sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga dikenal sebagai budayawan dan penulis produktif.

                                                                      KH. Cholil Bisri
Cholil Bisri adalah anak sulung yang lahir dari pasangan Kiai Bisri Mustofa dan Ma’rufah binti KH Cholil Kasingan. Ia lahir pada Oktober 1941. Pendidikannya waktu kecil adalah di Sekolah Rakyat 6 Kartioso yang ditempuh dalam waktu lima tahun, karena  ia langsung diterima di kelas dua dan tidak mau satu kelas dengan adiknya, Mustofa, yang pada saat bersamaan masuk kelas satu.

Selain menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (1954), Cholil juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (1954), kemudian melanjutkan di SMP Taman Siswa (1956) bersamaan dengan sekolah di Perguruan Islam (1956). Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, (1957), Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta (1960), Aliyah Darul Ulum Mekah (1962), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kiai Bisri Mustofa tidak memaksakan anaknya harus menempuh pendidikan di pesantren tertentu. Oleh karena itu, ketika Cholil diminta oleh KH Machrus Ali dari Lirboyo dan KH Ali Maksum Krapyak untuk nyantri di pesantrennya, ia diminta memilih sendiri. Ia kemudian memilih nyantri di kedua tempat itu. Di tangan Kiai Ali Maksum, ia terasah tradisi menulisnya, karena setiap membuat kesalahan ia diberi ganjaran. Salah satu ganjarannya, ia disuruh menulis kitab tertentu dua kuras beserta artinya. Tradisi ini ikut membentuk tradisi menulis Cholil ketika dewasa.

Dalam organisasi, Cholil berkiprah di lingkungan NU. Dimulai ketika ia aktif sebagai Ketua GP Ansor Rembang, Ketua Partai NU Rembang (ketika NU menjadi partai sendiri pada 1971), Ketua DPC PPP (ketika NU fusi dengan PPP). Ia juga pernah menjadi A’wan dan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, dan Ketua MPW PPP Jawa Tengah.

Pada awalnya Cholil tidak berkecimpung di partai politik. Sampai suatu ketika Kiai Ali Maksum menegurnya di Munas Alim Ulama Kaliurang Yogyakarta, “Kamu kok tidak ikut main politik seperti adikmu, Mustofa, kenapa?”

Pada akhirnya Cholil tertarik juga di politik, dan ia memiliki parodi yang sangat mendalam tentang NU dalam politik. Parodinya yang sering dikutip berbunyi, “NU itu sering diidoni (diludahi).”

Karena keterlibatannya dalam PPP, pada 1982 ia diminta untuk menjadi anggota DPRD Tingkat I, tetapi ia menolak, karena ia berprinsip harus mengurus pesantren. Waktu itu, ia hanya mau di DPRD Tingkat II, seumur hidup. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal pada 1977, ia memegang tanggung jawab untuk menjadi pengasuh di Pesantren Raudhatut Thalibin sehingga ia hanya tertarik dalam politik lokal.

Di pesantren, ia mengajar bandongan Alfiyah, Syarah Fath al-Muin, Jam’ul Jawami’, dan Ihya’ Ulumuddin.

Pada masa NU berfusi ke dalam PPP, di Muktamar 1994, faksi NU membentuk Kelompok Rembang, merujuk nama tempat Cholil Bisri menjadi motor pentingnya. Kelompok ini semula bermaksud mengajukan tokoh NU untuk bersaing dengan Buya Ismail Metareum dari unsur Muslimin Indonesia (MI).

Bersama Matori Abdul Djalil, Imam Churmen, dan lain-lain, mereka mengoordinasi faksi NU di PPP. Tetapi, ketika pertarungan itu belum terlaksana Kelompok Rembang justru buyar karena sebelum Muktamar PPP sudah terjadi perpecahan dengan keluarnya kelompok Hamzah Haz dari Kelompok Rembang. Meski demikian, nama Cholil Bisri sangat dihormati sebagai sosok kiai politisi yang gigih membela NU.

Ketika NU kembali ke Khittah pada 1984, Kiai Cholil ikut terlibat dalam pemulihan Khittah NU. Dalam Muktamar NU ke-27 (1984), yang merumuskan Khittah NU, Kiai Cholil Bisri menjadi Ketua Panitia Perumus di Komisi Program dengan Sekretaris H. Tan Gatot dan anggota-anggota: H. Dahlan Ch, H.M. Husaini Tiway, H.M. Utsman Limbong, H.M. Asy’ari Sanak, H. Asnawi Lathif, H. Muhammadiyah, dan H. Syafrudin Syah.

Sebelum PKB didirikan, Kiai Cholil Bisri tampak tertarik untuk berkiprah di PPP lagi, yaitu pada 1992 saat ia masuk DPR RI dari PPP. Tetapi, ketika PKB didirikan, kiprahnya juga besar di partai ini. Sebelum PKB didirikan oleh Tim Kerja PBNU, inisiatif awal untuk membentuk sebuah partai terjadi pada 30 Mei 1998 ketika diadakan istighatsah kubro di Jawa Timur, dan banyak kiai yang berkumpul di Kantor PWNU Jawa Timur.

Setelah acara itu, banyak kiai mendesak Kiai Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. Pada 6 Juni 1998, ia mengundang 20 kiai untuk membicarakan hal tersebut, dan tidak kurang 200 orang kiai datang. Dari pertemuan di rumahnya inilah gagasan tersebut mengkristal sampai proses pendirian PKB oleh Tim Kerja PBNU.

Ketika PKB dideklarasikan pada 23 Juni 1998, Kiai Cholil Bisri menjadi salah satu tokoh penting. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB, dengan Ketua Dewan Syuro KH Ma’ruf Amien dan Ketua Dewan Tanfdiziyah Matori Abdul Djalil. Keterlibatannya dalam PKB mengantarkannya menjadi anggota DPR dari PKB, bahkan sampai menjadi Wakil Ketua MPR.

Meskipun menjadi politisi, kekiaian Kiai Cholil Bisri tidak luntur. Ia di Rembang tetap mengajar ngaji dan menjadi pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin sampai ia meninggal dalam usia 62 tahun pada 23 Agustus 2004. Bahkan, ia sangat menyukai kalimat-kalimat hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam, yang terkenal itu.

Ia juga seorang penulis, bukunya yang telah diterbitkan adalah Kami Bukan Kuda Tunggang dan Ketika Biru Langit. Ia meninggalkan seorang istri bernama Hj. Muhsinah, delapan anak, dan sejumlah cucu. (Sumber: Ensiklopedia NU)

Kiai Cholil Kiai NU dari Jawa Tengah yang sangat disegani. Dalam dirinya terdapat sosok seorang yang bukan hanya benar-benar kiai, tetapi juga penulis, politisi, dan sekaligus seorang sufi. Keluarga besarnya adalah kiai-kiai besar dan para penulis hebat.
Ayahnya bernama KH Bisri Mustofa, penulis produktif dan pengarang tafsir terkenal, al-Ibriz, dalam bahasa Jawa. Adiknya bernama KH Mustofa Bisri, seorang penyair, budayawan, kiai, dan penulis produktif.
Cholil Bisri adalah anak sulung yang lahir dari pasangan Kiai Bisri Mustofa dan Ma’rufah binti KH Cholil Kasingan. Ia lahir pada Oktober 1941. Pendidikannya waktu kecil adalah di Sekolah Rakyat 6 Kartioso yang ditempuh dalam waktu lima tahun, karena  ia langsung diterima di kelas dua dan tidak mau satu kelas dengan adiknya, Mustofa, yang pada saat bersamaan masuk kelas satu.

Selain menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (1954), Cholil juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (1954), kemudian melanjutkan di SMP Taman Siswa (1956) bersamaan dengan sekolah di Perguruan Islam (1956). Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, (1957), Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta (1960), Aliyah Darul Ulum Mekah (1962), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kiai Bisri Mustofa tidak memaksakan anaknya harus menempuh pendidikan di pesantren tertentu. Oleh karena itu, ketika Cholil diminta oleh KH Machrus Ali dari Lirboyo dan KH Ali Maksum Krapyak untuk nyantri di pesantrennya, ia diminta memilih sendiri. Ia kemudian memilih nyantri di kedua tempat itu. Di tangan Kiai Ali Maksum, ia terasah tradisi menulisnya, karena setiap membuat kesalahan ia diberi ganjaran. Salah satu ganjarannya, ia disuruh menulis kitab tertentu dua kuras beserta artinya. Tradisi ini ikut membentuk tradisi menulis Cholil ketika dewasa.

Dalam organisasi, Cholil berkiprah di lingkungan NU. Dimulai ketika ia aktif sebagai Ketua GP Ansor Rembang, Ketua Partai NU Rembang (ketika NU menjadi partai sendiri pada 1971), Ketua DPC PPP (ketika NU fusi dengan PPP). Ia juga pernah menjadi A’wan dan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, dan Ketua MPW PPP Jawa Tengah.

Pada awalnya Cholil tidak berkecimpung di partai politik. Sampai suatu ketika Kiai Ali Maksum menegurnya di Munas Alim Ulama Kaliurang Yogyakarta, “Kamu kok tidak ikut main politik seperti adikmu, Mustofa, kenapa?”

Pada akhirnya Cholil tertarik juga di politik, dan ia memiliki parodi yang sangat mendalam tentang NU dalam politik. Parodinya yang sering dikutip berbunyi, “NU itu sering diidoni (diludahi).”

Karena keterlibatannya dalam PPP, pada 1982 ia diminta untuk menjadi anggota DPRD Tingkat I, tetapi ia menolak, karena ia berprinsip harus mengurus pesantren. Waktu itu, ia hanya mau di DPRD Tingkat II, seumur hidup. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal pada 1977, ia memegang tanggung jawab untuk menjadi pengasuh di Pesantren Raudhatut Thalibin sehingga ia hanya tertarik dalam politik lokal.

Di pesantren, ia mengajar bandongan Alfiyah, Syarah Fath al-Muin, Jam’ul Jawami’, dan Ihya’ Ulumuddin.

Pada masa NU berfusi ke dalam PPP, di Muktamar 1994, faksi NU membentuk Kelompok Rembang, merujuk nama tempat Cholil Bisri menjadi motor pentingnya. Kelompok ini semula bermaksud mengajukan tokoh NU untuk bersaing dengan Buya Ismail Metareum dari unsur Muslimin Indonesia (MI).

Bersama Matori Abdul Djalil, Imam Churmen, dan lain-lain, mereka mengoordinasi faksi NU di PPP. Tetapi, ketika pertarungan itu belum terlaksana Kelompok Rembang justru buyar karena sebelum Muktamar PPP sudah terjadi perpecahan dengan keluarnya kelompok Hamzah Haz dari Kelompok Rembang. Meski demikian, nama Cholil Bisri sangat dihormati sebagai sosok kiai politisi yang gigih membela NU.

Ketika NU kembali ke Khittah pada 1984, Kiai Cholil ikut terlibat dalam pemulihan Khittah NU. Dalam Muktamar NU ke-27 (1984), yang merumuskan Khittah NU, Kiai Cholil Bisri menjadi Ketua Panitia Perumus di Komisi Program dengan Sekretaris H. Tan Gatot dan anggota-anggota: H. Dahlan Ch, H.M. Husaini Tiway, H.M. Utsman Limbong, H.M. Asy’ari Sanak, H. Asnawi Lathif, H. Muhammadiyah, dan H. Syafrudin Syah.

Sebelum PKB didirikan, Kiai Cholil Bisri tampak tertarik untuk berkiprah di PPP lagi, yaitu pada 1992 saat ia masuk DPR RI dari PPP. Tetapi, ketika PKB didirikan, kiprahnya juga besar di partai ini. Sebelum PKB didirikan oleh Tim Kerja PBNU, inisiatif awal untuk membentuk sebuah partai terjadi pada 30 Mei 1998 ketika diadakan istighatsah kubro di Jawa Timur, dan banyak kiai yang berkumpul di Kantor PWNU Jawa Timur.

Setelah acara itu, banyak kiai mendesak Kiai Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. Pada 6 Juni 1998, ia mengundang 20 kiai untuk membicarakan hal tersebut, dan tidak kurang 200 orang kiai datang. Dari pertemuan di rumahnya inilah gagasan tersebut mengkristal sampai proses pendirian PKB oleh Tim Kerja PBNU.

Ketika PKB dideklarasikan pada 23 Juni 1998, Kiai Cholil Bisri menjadi salah satu tokoh penting. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB, dengan Ketua Dewan Syuro KH Ma’ruf Amien dan Ketua Dewan Tanfdiziyah Matori Abdul Djalil. Keterlibatannya dalam PKB mengantarkannya menjadi anggota DPR dari PKB, bahkan sampai menjadi Wakil Ketua MPR.

Meskipun menjadi politisi, kekiaian Kiai Cholil Bisri tidak luntur. Ia di Rembang tetap mengajar ngaji dan menjadi pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin sampai ia meninggal dalam usia 62 tahun pada 23 Agustus 2004. Bahkan, ia sangat menyukai kalimat-kalimat hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam, yang terkenal itu.

Ia juga seorang penulis, bukunya yang telah diterbitkan adalah Kami Bukan Kuda Tunggang dan Ketika Biru Langit. Ia meninggalkan seorang istri bernama Hj. Muhsinah, delapan anak, dan sejumlah cucu. (Sumber: Ensiklopedia NU)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar